Assalamu'alaikum wr. wb.
Hadits adalah sumber ajaran kedua setelah Al Qur'an bagi umat Islam. Artinya, Hadits sebagai dasar dan dalil yang mengatur tentang masalah aqidah, hukum dan etika bersama Al qur'an.
Kedudukan Hadits bagi Al Qur'an adalah sebagai :
1. Bayan tafsir: menjelaskan apa yang terkandung dalam Al Qur'an. Penjelasan itu berupa:
- Merinci yang mujmal: misalnya, Al Qur'an mewajibkan wudhu' bagi orang yang akan sholat. Hadits menjelaskan rincian wudhu, bilangan membasuh dan batas-batas membasuh.
- Membatasi yang mutlaq: misalnya Al Qur'an menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Hadits menjelaskan tentang batasan nilai barang yang dicuri yang menyebabkan terjadinya hukum potong tangan.
- Mentakhshish yang 'am: misalnya Al Qur'an menjelaskan tentang waris dan orang-orang yang berhak mendapat warisan. Hadits memberi pengecualian bagi orang yang membunuh tidak berhak mendapat waris.
2. Bayan taqrir: menjelaskan ketetapan-ketetapan dalam Al Qur'an. Misalnya, menjelaskan wajibnya wudhu' bagi orang yang akan sholat sebagaimana Al Qur'an telah menjelaskan demikian.
3. Bayan tasyri': menetapkan berlakunya hukum baru. Misalnya, menetapkan hukum bagi pelaku zina muhshon (orang yang telah berkeluarga).
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa ucapan (qauly), perbuatan (fi'ly) dan ketetapan (taqriry).
Hadits qauly adalah hadits yang berisi tentang ucapan Nabi SAW. Hadits fi'ly berisi tentang perbuatan Nabi SAW yang dideskripsikan oleh Sahabat. Sedang hadits taqriry adalah hadits yang berisi tentang persetujuan atau ketetapan Nabi SAW terhadap ucapan atau perbutan yang dilakukan oleh Sahabat.
Hadits qauly menempati derajat pertama dari segi keshahihannya, kemudian hadits fi'ly. Sedang hadits taqriry menempati posisi paling lemah.
Berdasarkan susunannya, hadits terdiri dari sanad dan matan. Sanad atau isnad adalah mata rantai periwayatan Hadits dari penulis hadits dengan generasi di atasnya hingga kepada Nabi SAW. Sedang matan adalah redaksi atau bunyi hadits.
Berdasarkan sampai dan tidaknya suatu riwayat kepada Rasulullah SAW, hadits terbagi menjadi 3 macam: Hadits Marfu', Hadits Mauquf dan Hadits Maqthu'.
Hadits Marfu' adalah hadits yang periwayatannya sampai kepada Rasulullah SAW. Hadits Mauquf adalah hadits yang periwayatannya sampai kepada Sahabat. Sedang hadits Maqthu' adalah hadits yang periwayatannya sampai pada Tabiin. Berdasarkan pengertiannya, hadits yang bisa dijadikan dasar hukum umat Islam adalah Hadits Marfu'. Sedang Hadits Mauquf hanya mencapai tingkat khabar dan Hadits maqthu' hanya mencapai tingkat atsar.
Menurut jalur periwayatannya, hadits terbagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan banyak orang dalam setiap generasi sanad, dari awal sanad hingga akhir, ditangkap secara inderawi dalam proses penyampaiannya dan mustahil terjadi persekongkolan bohong. Sedang hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalur dari segi jumlahnya tidak memenuhi syarat mutawatir.
Hadits ahad dari segi penerimaannya terdiri atas hadits maqbul (diterima) dan hadits mardud (ditolak). Haidts maqbul meliputi hadits shahih dan hadits hasan. Hadits mardud meliputi hadits dhaif dan hadits maudhu'.
Hadits shahih, suatu hadits yang mempunyai syarat-syarat:
a. Sanadnya muttashil (sambung bersambung) sampai kepada Rasulullah SAW.
b. Para perawinya terdiri atas orang-orang yang: adil, istiqomah (kokoh pada pendiriannya), kuat daya ingatnya, menjaga muru'ah (kehormatannya), tidak fasik, berakhlaq baik.
c. Kedudukan haditsnya tidak syadz (janggal), tidak ada sesuatu yang tersembunyi atau tidak nyata yang menyebabkan hadits menjadi cacat (illat).
Hadits hasan memiliki syarat-syarat menyerupai shahih tetapi dari segi daya ingat perawinya berada di bawah shahih.
Hadits dhaif adalah hadits yang sanadnya tidak muttashil, materi haditsnya syadz atau terdapat cacat, diriwayatkan oleh orang yang tidak adil, kurang kuat daya ingatnya. Sedangkan hadits maudhu' adalah hadits yang dicurigai palsu atau buatan karena dalam rangkaian sanadnya terdapat orang yang terindikasi berdusta.
Methode penyampaian hadits ada 8, yaitu:
1. As Sama'
yaitu suatu metode penyampaian langsung antara guru dengan murid. Guru membacakan hadits, bentuknya bisa membaca hafalan, membacakan kitab, tanya-jawab atau dikte. Dalam proses penyampaian hadits, metode inilah yang paling kuat. Istilah yang dipakai adalah: Sami'tu, Haddatsana.
2. Al 'ardhu
yaitu seorang murid membacakan hadits dihadapan guru. Dalam methode ini seorang guru dapat mengoreksi hadits yang dibacakan murid. Istilah yang dipakai adalah: Akhbarona.
3. Al ijazah
yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadits tanpa membacakan hadits satu per satu. Istilah yang dipakai adalah: An ba ana.
4. Al Munawalah
yaitu seseorang memberi satu atau beberapa buah hadits kepada orang lain tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah: An ba ana.
5. Al Mukatabah
yaitu seseorang memberi catatan hadits kepada orang lain. Hal ini mirip dengan methode ijazah.
6. I'lam As Syaikh
yaitu guru menginformasikan kepada muridnya, bahwa buku tertentu adalah hasil periwayatannya dari seseorang tanpa menyebut namanya.
7. Al Washiyah
yaitu guru mewasiatkan buku catatan hadits kepada muridnya sebelum meninggal dunia.
8. Al wijadah
yaitu seseorang menemukan catatan hadits seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits itu.
Banyak pendapat berkenaan dengan methode wijadah. Ulama dari Malikiyah menolak methode ini, sedangkan ulama As Syafiiyyah menerimanya.
Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa methode wijadah tidak bisa diterima riwayatnya, karena methode ini masuk katagori maqthu', terputus jalan periwayatannya karena tidak adanya pertemuan langsung antara guru dengan murid. Syekh Al Albany dalam kitabnya "Ad Dhaifah" cenderung mendhaifkan. Begitu pun Ibnu Katsir dalam "Tafsir Al Qur'an Al Adzim".
Sedangkan As Syafi'iyyah berpendapat boleh. Pendapat ini didukung oleh Imam Nawawy dan Ibnu Sholah. Dalam kitab "Ulumul Hadits" Ibnu Sholah mengatakan: "Inilah yang mesti dilakukan pada masa-masa akhir ini. Karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan hadits maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari Nabi SAW) karena tidak mungkin terpenuhi syarat periwayatan padanya."
Tentu saja pembolehan ini ada batasannya. Sebagaimana disyaratkan dalam kitab "Al Baitsul Hatsits", bahwa penulis kitab yang ditemukan (diwijadahi) adalah orang yang terpercaya dan sanad haditsnya shahih, sehingga wajib mengamalkannya.
Mereka yang membolehkan ini bersandar pada sabda Rasulullah SAW:
"Mahluk mana yang menurut kalian (para sahabat) paling menakjubkan keimanannya?" Mereka berkata: "Para malaikat." Nabi SAW bersabda: "Bagaimana mereka tidak beriman, sedang mereka di sisi tuhan mereka." Mereka (para sahabat) menyebut: "Para nabi." Nabi SAW menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman, sedang wahyu turun kepada mereka." Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami." Beliau menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman, sedang aku ada di tengah-tengah kalian." Mereka mengatakan: "Lalu siapakah wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya." (HR. Ahamad, Ad Darimy).
Demikian sekilas uraian tetang ilmu hadits, semoga dapat menambah wawasan kita tentang tahammul wal ada' (menerima dan menyampaikan) dalam proses transformasi ilmu hadits.
Selasa, 13 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar