Rabu, 18 Juli 2007

khutbah berbahasa arab

كتاب الصلاة الفقه على المذاهب الاربعة

شروط خطبتي الصلاة

هل يشترط ان تكونا بالعربية وهل تشترط النية؟ يشترط لخطبتي الجمعة امور:

Ø احدها: ان تتقدما على الصلاة فلا يعتدبهما ان تاخرتا عنها, باتفاق ثلاثة من لائمة وخالف المالكية, فانظرمذهبهم تحت الخط

· المالكية قالو: اذ اخرت الخطبتان عن الصلاة اعدت الصلاة فقط وصح الخطبتان ولايعيدهما بشرط ان يعيد الصلاة قبل ان يخرج من المسجد بدون تاخير اما اذا لم يعدها قبل الخروج من المسجد او مضى زمن طويل عرفا قبل اعادتها فانه يجب ان يعيد الخطبتين ويعيد الصلاة بعدهما

Ø ثانيها: نية الخطبة فلو خطب بغير النية لم يعتد بخطبته عند الحنفية والحنبلة وقال الشافعية والمالكية ان النية ليست بشرط في صحة الخطبة الا ان الشافعية اشترطوا عدم الانصرف عن الخطبة فلو عطس وقال الحمد لله بطلت خطبته (وهذا الشرط لم يوافقهم عليه احد)

Ø ثالثها: ان تكون بالعربية على تفصيل في المذاهب فانظره تحت الخط

· الحنفية قالو: تجوز الخطبت بغير العربية ولو لقادر عليها سواء كان القوم عربا او غيرهم

· الشافعية قالو: يشترط ان تكون اركن الخطبتين باللغة العربية فلا يكفي غير العربية متى امكن تعلمها فان لم يمكن خطب بغيرها هذا اذا كان القوم عربا اما ان كانو عجما فانه لايشترط اداء اركانهما بالعربية مطلق ولو امكنه تعلمها ماعدا الاية فانه لابد ان ينطق بها بالعربية الا اذا عجز عن ذلك فانه ياتى بدلها بذكر او دعاء عربي فان عجز عن هذا ايضا فعليه ان يقف بقدر قراة الاية ولو يترجم واما غير اركان الخطبة فلا يشترط لها العربية بل ذلك سنة

· الحنابلة قالو: لاتصح الخطبة بغير العربية ان كان قادرا عليها فان عجز عن الاتيان بها اتى بغيرها مما يحسنه سواء كان القوم عربا او غيرهم لكن الاية التي هي ركن من اركان الخطبتين لايجوز له ان ينطق بها بغير العربية فياتى بدلها باي ذكر شاء بالعربية فان عجز سكت بقدر قراعة الاية

· المالكية قالو: يشترط في الخطبة ان يكون باللغة العربية ولو كان القوم عجما لايعرفونها فان لم يوجاء فيهم من يحسن اللغة العربية بحيث يؤدي الخطبة بها سقطت عنهم الجمعة

Ø ربعها: ان تكون في الوقت فلو خطب قبله وصلى فيه لم تصح باتفاق

Ø خامسها: ان يجهر الخطيب بهما بحيث يسمع الحضرين على تفصيل في المذاهب

الحنابلة قالو: اركن الخطبتين اربعة:

§ الحمد لله في اول كل منهما بهذا الفظ, فلا يكفى احمد الله مثلا

§ الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم, ويتعين لفظ الصلاة

§ قراة اية من كتاب الله تعالى, ويلزم ان تكون منتقلة بمعنى او حكم, فنحو قوله تعالى (مدهامتان) لا يكفى في ذلك

§ الوصية بتقوى الله تعالى, واقلها ان يقول: اتقوا الله او نحو ذلك

RANGKAIAN KHUTBAH JUM’AT.

Dalam penjelasan yang saya dapatkan dari Kitabu asSholah al fiqh ‘ala madzaahib al ‘arba’ah. Ada beberapa penjelasan yang sangat penting untuk kita ketahui agar bisa memberikan hujjah atas apa yang telah dan sedang kita lakukan yang berkaitannya dengan khutbah jum’at, diantaranya mengenai niat khutbah, rukun khutbah, bahasa yang digunakan dalam khutbah, dsb.

Menurut para imam hadist (yang terkenal madzhab-madzhabnya) ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam melaksanakan khutbah, antara lain adalah;

Ø Khutbah jum’at haruslah dilakukan terlebih dahulu sebelum melaksanakan dua rokaat sholat jum’at (berbeda halnya dengan pelaksanaan khutbah Idul adha maupun Idul fitri yang dasar hukumnya sesuai dengan yang telah disaksikan oleh Ibn Abbas RA atas nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, yang terdapat dalam shahih Bukhori, di mana khutbah dilaksanakan setelah melaksanakan dua raka’at sholat id).

Hal ini sesuai dengan kesepakatan tiga imam madzhab, namun untuk hal ini imam Malikiah menyelisihi kesepakatan itu, mereka mengatakan bahwa ketika dua khutbah jum’at diakhirkan dari shalat (shalat terlebih dahulu dan kemudian berkhutbah) dan shalatnya (segera) diulangi (dikerjakan setelah pelaksanaan khutbah) maka hal itu telah cukup dan dapat mengesahkan dua khutbah tersebut sehingga tidak perlu mengulangi dua khutbah, dengan syarat shalat yang dilakukan setelah khutbah (untuk meralat shalat yang dilakukan sebelum khutbah) dilakukan sebelum keluar dari masjid. Jika shalatnya tidak segera dilakukan sebelum keluar dari masjid atau telah terdapat interfal waktu yang lama tanpa bersegera melakukan shalat setelah khutbah maka hal ini mewajibkan diulanginya dua khutbah dan sekaligus mengulangi shalat.

Ø Berniat dalam melaksanakan khutbah (khutbah jum’at haruslah didahului dengan niat). Seandainya khutbah dilaksanakan tanpa niat maka khutbah tersebut tidak dapat dianggap sebagai khutbah (yang sah), demikianlah Hanafiah dan Hanabalah memahami pentingnya niat khutbah, sedangkan Syafi’iah dan Maalikiah mengatakan bahwa sesunguhnya niat tidaklah menjadi syarat sahnya khutbah.

Ø Menggunakan bahasa Arab dalam melaksanakan khutbah

· Hanafiah mengatakan; Khutbah dengan menggunakan bahasa selain Arab adalah hal yang boleh-boleh saja meskipun sebenarnya terdapat orang yang sanggup atas bahasa Arab, hal ini berlaku bagi orang Arab atau selainnya.

· Syafi’iah mengatakan; Khutbah dengan menggunakan bahasa Arab adalah hal yang disyaratkan dalam rukun dua khutbah, bahasa lain tidaklah mencukupi jika khutbah tersebut masih dimungkinkan dapat dipahami dan tidak dimungkinkannya berkhutbah dengan selain bahasa Arab. Hal ini berlaku jika mereka adalah orang Arab. Ketika mereka adalah kaum A’jam (selain bangsa Arab) maka tidaklah disyaratkan untuk memenuhi rukun dua khutbah dengan berbahasa Arab secara mutlak. Namun demikian tetap saja membacakan ayat harus dalam bahasa Arab, terkecuali kalau lemah darinya (tidak dapat membaca ayat dalam bahasa Arab) maka dapatlah disajikan dzikir (peringatan) dan do’a dalam bahasa Arab sebagai ganti dari ayat itu. Dan jika tidak dapat pula disajikan dzikir dan do’a dalam bahasa Arab maka menjadi wajib hukumnya untuk berhenti atau diam selama waktu yang digunakan untuk membaca ayat (yang semertinya dibacakan). Syafi’iah juga memahami bahwa jika tidak dapat membacakan ayat dalam bahasa Arab maka tetap tidak diperbolehkan mengungkapkan ayat tersebut dalam bentuk terjemahan. Adapun rukun khutbah yang lain (selain membaca ayat, dzikir, dan doa dalam bahasa Arab) maka pelaksanaannya tidaklah disyaratkan dalam bahasa Arab melainkan disunnahkan.

· Hanabilah mengatakan; Selagi sanggup melaksanakan khutbah dalam bahasa Arab maka tidak sah hukum khutbahnya jika tidak dalam bahasa Arab, dikala mereka tidak sanggup melaksanakan khutbah dalam bahasa Arab maka mereka boleh melaksanakan khutbah dalam bahasa lain selagi mereka bisa menyajikan kebaikan dalam khutbahnya, hal ini berlaku bagi kaum Arab ataupun selainnya. Dan membacakan ayat dalam khutbah adalah salah satu rukun di antara rukun-rukun dua khutbah maka tidak boleh mengungkapkannya dalam bahasa selain Arab. Sebagai gantinya, seorang khotib dapat menyajikan dzikir yang ia kehendaki dalam bahasa Arab sebagai ganti ayat tersebut, dan jika ia lemah atasnya (tidak sanggup menyajikan dzikir dalam bahasa Arab) maka cukuplah jika ia diam selama waktu yang digunakan untuk membaca ayat (yang seharusnya dia baca).

· Malikiah mengatakan; Disyaratkan untuk menyajikan khutbah dalam bahasa Arab, dan seandainya mereka adalah kaum A’jam yang tidak memahami bahasa Arab dan tidak pula dijumpai di kalangan mereka orang yang dapat berbahasa Arab yang diharapkan dapat menyampaikan khutbah dalam bahasa tersebut maka jatuhlah hukum kewajiban mengerjakan shalat jum’at bagi mereka (mereka hanya perlu mengerjakan sholat dzuhur).

Ø Para imam hadist di atas menyepakati bahwa jika khutbah dilaksanakan pada saat yang tidak tepat (belum masuk waktu/sudah lewat waktu) maka sholat yang mengikutinya menjadi batal/tidak sah,

Ø Khotib hendaknya mengeraskan khutbahnya sehingga para hadirin dapat mendengarkannya.

Pernyataan Amr dalam Ahmad bin Hanbal Juz III hal 294 kiranya menjadi kesimpulan akhir dari tulisan ini bahwa “Sesungguhnya khutbah dijadikah sebagai pengganti dua rakaat (dari shalat dzuhur)”

عن عمرو قال انما جعلت الخطبة موضع الركعتين. عب س

Sehingga kita sebagai ummat yang selalu berhati-hati/mutawarik dalam memutuskan perkara/hukum agama akan tetap menyajikan khutbah dalam bahasa Arab, tentu alasannya adalah kita tidak ingin dua rakaat dari sholat kita berbahasa A’jam dan dua rakaat lainnya berbahasa Arab. Kalau saja ummat islam ingin tetap menjaga kekhusyukan sholat jum’atnya maka hendaklah mereka mengambil pernyataan imam Malik bin Anas yang telah disebutkan di atas.

Seandainyapun berkhutbah dengan menggunkan bahasa selain Arab adalah hal yang dapat dibenarkan maka berkhutbah dengan berbahasa Arab tentu akan lebih benar, dan seandainya menggunakan bahasa selain Arab adalah hal yang tidak benar maka menggunakan bahasa Arab dalam berkhutbah bisa tetap benar, karena jika kita mencermati maka pernyataan para imam hadist di atas mengindikasikan betapa menggunakan bahasa Arab dalam berkutbah adalah menjadi opsi yang utama, mereka membolehkan bahasa selain Arab dipergunakan dalam berkhutbah hanya jika sama sekali sudah tidak terdapat orang yang bisa menyajikannya dalam bahasa Arab.

ISI KHUTBAH JUM’AT

ü Memuji Allah dengan pujian yang sempurnah baik dalam khutbah yang pertama maupun yang kedua, (imam Amad bin Hanbal berkata bahwa para ahli ilmu berpendapat) tidak cukup hanya dengan mengatakan “ahmadu-lloh” melainkan “alhamdulillah…alladzi, dst”,

ü Memanjatkan salawat untuk nabi Muhammad SAW,

ü Membacakan ayat-ayat Allah, tidak cukup dengan ayat-ayat yang hanya mengandung arti saja (tidak sekedar punya arti) akan tetapi harus mengandung hukum peringatan (tadzkiroh),

ü Berwasiat dalam kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah, dalam hal ini imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa minimal peringatan itu adalah “Ittaqu-llooha” atau semisalnya, dalam khutbah kita sering kita dengar dengan “Ibaada-llooh ittaqu-llooha ta’aalaa wa atii’uwh”.

Sesuai dengan kesimpulan di atas maka boleh saja hukumnya jika menyajikan khutbah di luar apa yang telah terdapat dalam “Kitab Khutbah” yang kita miliki sebagai himpunan khutbah kita, asalkan kerangka rukun khutbahnya tetap kita laksanakan. Jadi, seandainya para imam yang sering bertugas sebagai khatib mau melaksanakan khutbah ‘Arofah, sholat gerhana, istisqo’, khutbah yawmu-nahr di masjidil haroom, dsb dapat menggunakan dalil-dalil lain yang menyangkut moment tersebut di luar opsi yang telah terdapat di dalam kitab Khutbah (yang sudah sama kita miliki).

Semoga Allah memberikan ampunan-Nya kepada kita sekalian dan senantiasa menetapkan hidayah-Nya atas hati kita, amin.

Tidak ada komentar: